Winter Blues (A Tribute to Kim Jonghyun)

“Breathe in deeply
Until both sides of your chest get numb,
Exhale more,
Until they start to hurt a little
Until you feel like
There’s nothing left inside of you
*


Diusapnya lembut air yang menetes membasahi ujung matanya. Dengan hati-hati sampai basah berpindah ke persegi berbahan katun yang dipegangnya.

“Kenapa aku merasa dia menangis dengar lagu ini ya? Ah tapi masa sih..” wanita berambut cepak itu hanya menaikkan pundak menampik opininya sendiri.

“Apa tidak ada tanda -tanda kemajuan?” tanya seorang pria yang tiba-tiba masuk dan mengagetkannya. hampir ia menumpahkan segelas air pembersih ke wanita yang terbaring di depannya.

Tidak ada. Jawaban ia utarakan lewat gelengan kepala. Mereka kembali bergosip, menerka-nerka kenapa keluarganya masih kekeuh mempertahankan selang-selang yang menancap di tubuhnya. Bengkak dan memar yang mulai terlihat di bagian tangan serta wajahnya membuat wanita itu berdecak.

Kim Richan.

“Kasihan sekali,” gumamnya membawa ingatannya pada kejadian 2015 lalu saat ia pertama kali merawat wanita berparas cantik itu.

“Walaupun hanya 1 persen tolong jangan lepaskan peralatan itu,” Pria di depanku mengepalkan tangannya, menolak keras dokter yang menyarankannya untuk ikhlas. Aku hanya bisa mengelus dada, bukan karena heran, aku malah terbiasa. Tentu saja, dia pasti mencintai wanitanya bukan? Ah. Apalagi ia telah kehilangan anak perempuannya. Kehilangan istrinya juga pasti terlalu berat untuknya. Aku hanya bisa memegangi peralatan pertolongan pertama yang telah digunakan untuk menyelamatkan wanita tadi, begitupun beberapa suster yang menemaniku menolong korban kecelakaan mobil barusan.

Pria itu sungguh membuat hati para suster wanita disini luluh. Betapa ia mencintai istrinya hingga tak ingin melepaskan walaupun hanya 1% kesempatan untuk hidup.

“Nyonya Richan, apakah kau tak ingin bertemu dengan suamimu yang sangat keren itu? Ayolah..”

“It’s okay if your breath gets short
No one is blaming you
You can make mistakes from time to time
Everyone else does too
If I tell you it’s alright
I know that it’s only words
*

Kali ini tangannya bergerak, meski hanya beberapa detik namun berhasil tertangkap oleh wanita paruh baya yang mengajaknya berbicara.

“Wah!” Ia berjinjit kegirangan, membuatnya nyaris melompat dan menjatuhkan botol-botol yang dibawanya diatas nampan stainless.
Dugaan yang ia bantah kembali menyeruak dalam pikirnya.

Mungkinkah?

Ia mengambil smartphone yang tergeletak di meja. Sambil menatap layarnya penuh curiga.

Lee Hi – Breathe.

Ia memicingkan mata kembali berpikir jika tidak ada yang aneh, sebelum tangannya iseng membuka details dari file berformat mpeg-1 audio layer 3 itu.

Written By Kim Jonghyun

Masa sih ? Ia melangkahkan kakinya maju dengan ponsel yang ia pegang, membuat lagu yang mengalun itu semakin kencang.

Lagi, setetes air keluar dari pelupuk mata Richan namun kali ini ditemani dengan gerakan jari telunjuk pada tangan kirinya. Lagi.

Suster paruh baya itu menggeleng, mulutnya menganga, takjub. Bukan drama yang sedang terjadi di depannya. Ia tau, selama belasan tahun bekerja dalam dunia medis tidak ada sebuah kepastian tentang hidup-mati seseorang. Ini kali kedua ia melihat keajaiban. Ia pun dengan yakin berlari menuju keluar ruangan, ingin menyampaikan bahwa pasien yang di diagnosa mengidap kelumpuhan pada 50% pusat syarafnya karena benturan keras, kini mulai menunjukkan kemajuan yang berarti.

. . . . .

Juni 2014.

Richan poV-

Dengan langkah ringan aku keluar dari lift. Aku sedang sangat bersemangat, tidak sabar memberikan kejutan untuk Jonghyun. Aku bilang padanya paling lambat akan kembali akhir tahun ini. But surprise! Aku datang 6 bulan lebih cepat. Senyuman semakin merekah begitu aku sampai di depan pintu apartemennya–apartemenku juga. Sudah 2 tahun ini aku bolak-balik Jepang dan Korea untuk menyelesaikan kuliah sekaligus kerja sambilan, ternyata rindu juga tidak bisa terus bersama pria penuh gombalan itu.

Klik.

Dengan sedikit berjinjit aku melangkah masuk, bermaksud ingin memberinya kejutan, aku sengaja tidak menyalakan lampu utama yang membuat apartemen ini seperti tidak berpenghuni. Apa jjong sengaja mematikannya? Bukannya ini masih jam 9 malam? Tidak mungkin ia sudah tidur. Aku ingat sekali saat terakhir kami melakukan video call, ia bilang jika akhir-akhir ini sulit tidur dibawah jam 11 malam jika tidak meminum sleeping pills.

Mataku menyipit, mencoba beradaptasi dengan cahaya yang nyaris tidak ada sama sekali.

Ah itu dia. Satu garis pancaran sinar yang membuatku tau dimana Jonghyun berada. Masih di ruang kerja? Ia belum tidur?

“Kim Jong…”

Monster.

Itu kata pertama yang terlintas di otakku begitu melihat sosok pria di depanku. Dengan kaus abu gelap dan celana hitamnya yang tertangkap di depan lampu meja, pijaran cahaya yang menyorot ke tubuhnya membuatku dapat melihat jelas apa yang ia lakukan. Ia berdiri-berjinjit-kemudian berlari kecil melempar beberapa kertas yang ia pegang, menambah tumpukan kertas yang bercecer di lantai menjadi semakin banyak.

“Tidak bagus.”
“Ini jelek.”
“Pasti yang ini akan flop”
“Tidak-tidak, ini tidak akan disukai orang-orang.”

Kantung matanya yang menghitam tampak begitu jelas saat ia memejamkan mata untuk melotot beberapa detik kemudian. Merah dan tidak sehat. Pipinya semakin tirus dari terakhir kali aku melihatnya langsung, kupikir itu hanya efek kamera-karna ia memang tak suka terlihat chubby di depanku.

Ia berdiri di cermin dengan menunjuk-nunjuk bayangannya sendiri..

“KAU ITU PAYAH. KAU TIDAK BECUS MEMBUAT MUSIK YANG DISUKAI. LIHAT SEKARANG KAU AKAN TERTINGGAL!”

Kemudian ia tertawa. dan menangis.

Kim Jonghyun? Apakah ini benar-benar kau? Tidak. Ia seperti monster. Penampilannya dan sikapnya sekarang membuatku bergidik, takut. Ia berteriak, marah, menangis, kemudian diam menatap tebaran kertas yang sekilas seperti gambaran not – dan beberapa angka seperti nada? Melihat beberapa botol obat yang ada di mejanya membuatku sedikit mengerti apa yang ia alami sekarang.

Aku bodoh. Aku benar-benar tolol, tidak pernah tau jika semua candaannya tentang sosok menakutkan dalam dirinya adalah benar adanya. Wajah cerah yang ia tunjukkan, lagu-lagu yang ia tulis. Sebenarnya ia sedang menderita dan menjerit minta tolong.

Kedua kakiku kaku untuk melangkah masuk, lidahku kelu untuk berbicara apalagi memanggil namanya. Aku bergeming. Ada rasa takut yang menyelimuti tubuhku melihatnya sekarang.

“Bagaimana jika….” Kata -kata itu terus berulang di otakku. Membuatku tidak berjalan maju namun malah mundur. Aku tau jika kita tidak seharusnya meninggalkan orang yang kita cintai dalam keadaan apapun.
But it s easier to say than done. Aku takut.

Sampai …

Sesuatu membuatku sadar saat tanganku mengepal karena rasa takutku. Aku merasakan tekstur yang sangat kukenal, melingkar di jari manisku. Benda yang menjadi simbol ikatan kami. Ikatan untuk terus bersama saat suka maupun duka.

Perlahan, aku mulai melangkah maju. Ia tidak menyadari keberadaanku karena terus sibuk dengan gumamannya dan kertas yang ia bawa. Ia sedang mengarahkan pena berujung runcing ke arah kertas sampai sebuah gerakannya membuatku berlari menabrak tubuhnya.

Aku menampik kertas dan pena di genggamannya kemudian memandangnya sekilas. Ia menatapku tajam, tapi kali ini tatapan menakutkannya tidak membuatku mundur. Tanganku mengulur, meraih tubuhnya mendekat, dengan sekuat tenaga aku memeluknya. Erat. Sebuah pelukan dipenuhi rasa takut, bukan karena sekarang ia seperti monster menakutkan. Rasa takut ini, rasa takut jika ia akan hilang–menghilangkan kehadirannya sendiri di kehidupan.

. .

Beberapa detik kami tetap dalam posisi ini. Ia tidak membalas pelukanku, tidak seperti Kim Jonghyun yang penuh kehangatan seperti biasanya. Ia bahkan seperti tidak mengenalku dan terus saja menggumamkan kata-kata tidak bagus tentang dirinya.

You have been doing well. You have been working hard..” Aku semakin menenggelamkan wajahku di dadanya. Kalimat itu terucap begitu saja dari mulutku. Lirih, tapi cukup untuk menggaung di ruangan ini.

Ia bereaksi, tangannya naik. Ia memegang tanganku, kemudian menariknya untuk melepas pelukanku. Gerakannya kasar dan kuat untuk membuatku bergoyang dan hampir rubuh. Tapi aku tidak menyerah, aku tidak mau.

Maafkan aku. I am not here when you go through hard time.

You have been doing well. You have been working hard.. Saranghamnida Kim Jonghyun shi..”

Ia menyerah untuk mencoba melepaskanku. Tangannya menyambutku pasti. Kemudian tangisan kami memecahkan keheningan dalam ruangan berdekorasi minimalis ini. Aku sempat melihat keluar jendela. Salju mulai turun di Seoul.

Winter 2014.
Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu sendirian lagi.
I promise myself.

. . . . .

Desember 2017.

Aku ingin membuka bibirku yang mengatup. Meskipun tidak lagi melekat, ia tidak bisa terbuka lebih dari beberapa milimeter. Berkali-kali aku mengerdipkan mata, memperjelas pandanganku melihat apa yang ada di sekelilingku.
Kepalaku berat dan semua anggota tubuhku terasa kaku, dan ngilu di beberapa bagian. Berbagai pertanyaan menyeruak dalam otakku. Pertanyaan seperti apa, dimana, mengapa, bagaimana.

“Akhirnya nyonya sadar juga, pasti anda bertanya-tanya tapi tidak bisa bicara ya sekarang? Anda sudah koma selama satu tahun setelah kecelakaan mobil tahun lalu.”

Ah. Akhirnya aku mengerti dan mulai sedikit mengingat meski kepalaku terasa masih berat.

“Wah salju sudah turun, winter ini banyak sekali lho lagu-lagu yang bagus. Ada beberapa diskon baju hangat yang gila juga di mall..”

Suster berperawakan kurus itu terus mengocehkan hal-hal yang tidak sepenuhnya kudengar. Winter ya? Sepertinya ada sesuatu yang terlewat. Winter.

Kim Jonghyun.

. . . . .

“Hmm?”

“Aku merasa aku semakin tertinggal. Shinee bukan lagi yang nomer 1, bahkan sebenarnya kami tidak pernah kan? Aku.. Setiap kali aku menulis lagu, ada bisikan yang timbul dalam diriku. This is not good enough. It can be more. Rasa itu menghancurkanku, perlahan dan terkadang aku kehilangan kendali.”

Aku menggenggam tangannya yang gemetar saat mengungkapan apa yang ia rasakan pada ahli psikologi di depan kami. Meskipun beberapa kali ia menceritakannya padaku semenjak kejadian itu, aku tetap tidak bisa menahan rasa sedih dan penyesalan. Aku tetap tidak bisa terbiasa melihatnya. Melihatnya kesakitan melawan dirinya sendiri.

Seasonal Affective Disorder, tenang saja ini tidak bahaya. Anda hanya harus menghindari kondisi sendirian saat musim semi atau musim dingin. saya akan meresepkan obat..”

Tidak. Aku merasa ini tidak benar. Aku merasa lebih dari itu, kecemasannya sekarang tidak hanya bergantung atau muncul di musim tertentu saja. Aku bisa merasakannya. Dan itulah alasan penyebab aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari perguruan tinggi dan tempat kerjaku di Tokyo.

“Tapi dok..” balasku kemudian buru-buru disanggah, “Obatnya hanya membantu menenangkan anda, anda harus tetap berusaha melawan kepribadian buruk anda itu..”

Jonghyun menarik tanganku kemudian beranjak dari kursi sebelum aku sempat protes. Ia memberikan isyarat jika dirinya tidak apa-apa dan ia sudah mengerti apa yang terus dikatakan dokter itu berulang-ulang.

. . .

“Bagaimana meeting dengan SME?” pertanyaanku membuat ekspresi muka Jonghyun berubah. Hanya sepersekian detik namun aku bisa melihat ia menyembunyikan sesuatu sebelum senyuman terukir di wajahnya.

“Baik, semuanya berjalan dengan lancar!” balasnya sembari tersenyum lebar.

Aku menggelengkan kepalaku di depannya, “Bukankah kita berjanji untuk tidak saling menyembunyikan sesuatu?”

Ia mengecup keningku membuatku terkejut. Tangannya mengusap pipiku perlahan, ia menatapku dalam, “Jika seandainya kau bukan istriku, kau adalah seorang fans biasa. Lalu kau melihat aku dan Shinee yang bertambah tua, kemudian beberapa waktu lagi ada banyak grup yang lebih muda, lebih tampan, dan lagunya lebih menyenangkan. Akankah kau melupakanku?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, meski aku merasakan hatiku teriris. Jadi ini yang ia sembunyikan?

“Aniyo,” jawabku sembari melayangkan sebuah kecupan di bibirnya. Ia tersenyum dan memberikan kecupan lembut membalasku.

Meski masih ada yang mengganjal melihatnya, aku memutuskan untuk mengalihkan sedikit kesedihannya dengan mengajaknya makan masakan spesialku.

“Sebentar, aku akan menambahkan lada hitam.” ujarku sembari melangkah menuju kotak lemari di dapur.

Pandanganku sekilas mengarah ke kotak obat di samping. Botol apa ini? Sepertinya aku tidak ingat dokter memberikan resep ini pada Jonghyun.

“Jagiya.. obat apa ini?”
“Ah itu suplemen tambahan! Produk migug..”

Aku menganggukkan kepalaku tidak menganggap sepele jawabannya. Aku mengantongi botol itu agar nanti bisa kubawa ke apotik.

. . . . .

Desember 2017.

Jadi sudah hampir 2 tahun? Dua kali sendirian di musim dingin? Aku menggelengkan kepalaku mencoba bangkit dari tempat tidur. Aku tidak seharusnya meninggalkannya sendirian selama itu. Namun selang infus yang menancap di tanganku membuatku mengernyit dan kembali terduduk.

“Anda mau kemana?”

“Tolong aku ingin bertemu suamiku.”

“Sepertinya anda sangat mencintainya ya? merindukannya? Tapi kenapa ya.. beberapa bulan terakhir ini ia jarang sekali menengok anda, ya walaupun jika sudah disini ia tidak pulang seharian sih.. Tapi tetap saja seingatku terakhir kali sudah bulan lalu….”

Tidak. Ia bukan tidak ingin menjengukku. Ia tidak bisa. Jonghyun tidak dapat mengingatku.

. . . . .

“Tidak masuk 10 besar lagi? Shit!”

“Ini tidak cukup! Aku pasti akan tertinggal di belakang Taemin, dan semuanya..”

Pria di depanku menjambak rambutnya dan terus menggumamkan kalimat jika kemampuan bermusiknya turun dan orang-orang tidak lagi menyukai karyanya.

“Jagiya?”

Ia beranjak dari kursinya menatapku dengan pandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.

“Siapa kau? beraninya masuk kesini dan melihatku seperti ini!”

Jonghyun berteriak kemudian mendorongku hingga badanku tersungkur ke lantai sebelum sebelah tanganku sempat membentur ujung meja dan menubruk lampu meja mengukir sebuah goresan luka beberapa senti. Rintihan yang tidak dapat ku kontrol keluar begitu saja dari mulutku ketika darah mulai mengalir. Sungguh aku tidak bermaksud menunjukkan rasa sakit, tapi reflekku terburu keluar sebelum perintah otakku sempat menghentikannya. Mendengar suaraku Jonghyun berbalik, tatapannya yang semula kosong mulai terisi dengan kesadaran ketika ia berlutut di depanku.

Ia mulai menangis dan memegangiku, “Apa.. apa yang sudah kulakukan padamu?”

Ketika tanganku mulai terbiasa dengan rasa sakit, aku menggenggam tangan kekar Jonghyun dan tersenyum, “Gwenchanaa.. hanya sebuah luka kecil”

Aku memeluknya yang semakin berisak, ia terus mengeluarkan kata-kata “I really am worthless, even now I hurt you” yang hanya bisa kujawab dengan tepukan perlahan di punggungnya. Let it out, let it out Kim Jonghyun.

“Jika ini sungguh berat, kumohon berhentilah..” ucapku tepat dibawah telinganya. Aku tau ini bukan perkataanku yang pertama untuk menyuruhnya berhenti. Dan aku tau ini juga bukan jawaban pertamanya menolakku.

He really loves music. More than he loves himself.

. .

“Kau sudah membaik?”

“Kau itu aneh, kenapa kau bertanya.. Yang terluka itu kau..” ujarnya sembari menunjuk kapas dan plester yang terbalut menutupi goresan lukaku. Aku tersenyum melihatnya kembali cerah.

Your small shoulders, your small hands become my cozy blanket at the end of a tiring day**,” ia menyanyikan lagunya dengan suara yang lembut.

You did a good job today, you worked so hard**,” balasku melanjutkan lirik lagunya.

I hope my shoulders and my thick hands will become cozy comfort for the end of your tiring day as well. I want to naturally sync my breathing with yours**

“Aku beruntung memilikimu, bahkan kau tau? Kadang aku merasa tidak pan..”

Tanganku menutup mulutnya untuk berkata lebih lanjut. Aku tau benar apa yang akan ia katakan. Kugelengkan kepalaku membuatnya mengangguk mengerti. Menjadi pasangan hidup seorang publik figure sepertinya memang tidak mudah, beberapa kali aku berpikir untuk menyerah. Tapi seribu alasan tidak akan cukup membuat pudar satu alasanku untuk berada disampingnya. Dan sekarang alasanku bertambah satu lagi untuk terus menemaninya di kondisinya yang sedang sulit sekarang.

“Jagiya, aku merindukan Hyunchan.. Bisakah kau membawanya kemari?” ucapnya membuatku berjingkrak.

“Aku ingin menemanimu mengambilnya di rumah eomma tapi aku masih harus menyelesaikan deadline hari ini.”

Kim Jonghyun. Bahkan saat ini ia masih memikirkan tugasnya. Aku mengernyit, menyatukan kedua alisku. Yes I miss my daughter but I dont want to leave him alone.

Seperti dapat membaca pikiranku, ia melanjutkan perkataannya,”Kau bisa menyuruh security apartment untuk menemaniku disini.”

Okay then deal!

Aku berlonjak bangkit dari tempat dudukku dan memeluknya yang berdiri di depanku. Melingkarkan tanganku di lehernya, ia memandangku penuh arti. Aku tau ia adalah Kim Jonghyun yang sempat melupakanku dan melukaiku. Tapi ia juga adalah Kim Jonghyun yang menangis saat mengobati lukaku, Kim Jonghyun yang lembut memasangkan plester, Kim Jonghyun yang penuh cinta menyanyikan lullaby setiap malam.

Aku mengecup bibirnya bermaksud singkat, namun sebelah tangannya meraih wajah dan pinggangku membuat tubuh kami semakin rekat.

“Jika ini bertahan 3 menit lagi aku bisa mengangkatmu ke ranjang nantinya.. Jadi sekarang berangkatlah, sebelum kesabaranku habis dan kakimu tidak dapat lagi berjalan karna…… Kajja!”

Aku terkekeh mendengar ucapan dan senyuman licik yang terlukis di wajahnya.

“Arasseo”

. .

Malam yang indah dan dingin. Aku memperhatikan keluar jendela mobil sembari memejamkan mata, suara celotehan Hyunchan seperti lullaby yang membuatku akan tertidur beberapa detik lagi.

Sampai tiba-tiba mataku terpejam, aku mendengar suara klakson yang kencang dan ..

BOOM!

Suara dentuman yang keras membuat telingaku berdengung karena hantaman tajam membuat tubuhku terpental, lebih tepatnya taksi yang kutumpangi sekarang berguling dan membuatku terlempar. Aku bisa merasakan serpihan kaca menusuk dalam ke hampir seluruh tubuhku. Ketika teriakan dan rintihan menyeruak karena rasa sakit, pikiranku terus mencari sesuatu, Hyunchan. Ketika mataku menangkapnya, ka tidak sadarkan diri di sebelahku dengan darah mengucur deras di kepalanya. Aku menangis, bukan karena tubuhku sibuk dengan rasa sakit yang kurasakan. Tapi melihatnya yang tidak bergerak, dan mulai berpikir hal yang tidak ingin kubayangkan. Ribuan sengatan listrik seperti dialirkan ke dalam darahku, rasa sakitnya tidak tertahankan, pandanganku pun mulai buram seiring dengan kesadaranku yang semakin melemah. Apakah aku akan mati sekarang?

Desember 2015. I broke my promise. I leave you in winter. Im sorry Kim Jonghyun.

. . . .

18 Desember 2017.

“Bisakah kau membawaku ke suamiku? Aku mohon!” pintaku setengah berteriak. Entah kenapa perasaanku tidak enak. Ada sesuatu yang mengganjal. Setelah beberapa hari setelah kondisiku yang sadar, Jonghyun belum juga mengunjungiku. Dan disaat kini aku sudah membaik, aku harus menemuinya. Entah kenapa, tapi harus.

“Biar kami yang menjamin pasien ini suster, aku akan membicarakan dengan dokternya.” Suara tegas seorang wanita membuatku menoleh.

Minyoung unnie dan Geulrin berjalan masuk ke kamarku, membuatku secara otomatis tersenyum. Thanks God I have them.

Setelah beberapa kali perbincangan dan penantianku selama hampir 2 jam, akhirnya suster menyiapkan sebuah kursi roda.. Ia mengganti infus yang terpasang dengan infus yang bisa dibawa. Hanya beberapa jam, ucap suster itu tegas padaku sembari membantuku duduk, karena setelah itu aku harus kembali ke rumah sakit mengingat kondisiku belum sepenuhnya pulih dan masih ada kewajibanku melakukan beberapa check up lagi pasca operasi.

Aku berterima kasih pada Minyoung unnie dan Geulrin begitu kami keluar dari kamar rumah sakit. Geulrin mendorong kursi rodaku sementara Minyoung berjalan menuju tempat parkir, mengambil mobilnya.

“Kata suster kau selalu bereaksi setiap mendengar lagu Jonghyun, seperti drama saja!”

“Jinjja?”

“Kekuatan cinta sejati!” ledeknya membuatku terkekeh setelah beberapa hari kesuramanku mengingat Hyunchan. Aku akhirnya kembali tersenyum. Setidaknya kali ini aku dapat tersenyum dan berbagi kesedihan dengan Jonghyun. Mr. Kim, now you wont be alone again. I longing for your hugs and kisses already.

Bukk!

Suara pintu mobil yang tertutup membuatku semakin bersemangat. Tidak beberapa lama setelah Minyoung menginjak gas mobil, ponsel Geulrin berbunyi.

18.30

“Ahh dari Heerin! Letme make it loud..”

Geulrin menekan ikon pengeras suara hingga kami bertiga dapat mendengar suara Heerin.

“Unnie!! Apa kau sekarang ada di rumah sakit!?? Bagaimana Richan unnie!!? Apa ia benar sudah sadar..Lalu.. Kau sudah dengar berita? Jonghyun oppa..”

“Wae wae!”

“Tenanglah, tarik napas dan ceritakan dengan jelas.” tegur Minyoung dari balik kemudi.

Aku bisa mendengar suara hela napas Heerin yang berat dan entah kenapa dadaku mulai merasa sesak. Ini bukan pertanda buruk kan?

“Sekarang aku bersama Minho oppa, menuju rumah sakit Konkuk.. Jonghyun oppa ditemukan tidak sadar di apartemennya. Sekarang sedang kritis.”

Untuk beberapa detik Heerin tidak mengucapkan apapun.

“Ia mencoba bunuh diri.”

Aku tersentak. Tubuhku kaku. Kuku menusuk ke dalam telapak tanganku yang mengepal, memberikan goresan. Damn Kim Jonghyun. Please wait for me.

. . .

Konkuk Hospital, 20.30

Semuanya merundukkan kepalanya.. Menangis, cemas, berdoa. Seperti robot yang bergerak bersamaan dan mengikuti pola yang terprogram. Aku meminta Geulrin untuk membantuku berdiri dari kursi roda. Aku ingin berjalan di atas kakiku sendiri dan menyaksikan Kim Jonghyun merentangkan tangannya dan memelukku.

Ya itulah harapanku, sampai….

Dokter menggelengkan kepalanya mengisyaratkan sesuatu yang ingin kusanggah dengan keras. Suara teriakan dan isak tangis memenuhi lorong rumah sakit. Sieomoni terduduk di lantai dengan unnie yang memeluknya. Selain mereka, aku tidak memperhatikan belasan bahkan puluhan orang yang berdiri di koridor. Suara yang menggema sudah memberiku gambaran cukup jelas seperti apa kondisi kolega kami.

Lalu aku? bagaimana denganku? Apa yang kurasakan?

Heerin dan Geulrin memegangiku takut jika aku akan jatuh. Namun aku menepuk tangan mereka, memberi pertanda jika aku baik-baik saja. Aku meminta mereka untuk melepaskanku dan membiarkanku pergi ke ruangan dimana Jonghyun berada.

Semula mereka melarangku namun Minyoung unnie menggerakkan tangannya untuk membiarkanku pergi. Aku berjalan, terburu, namun tidak sampai kuat untuk berlari. Ketika sampai di depan pintu, tanganku mendadak kaku. Infus yang terpasang sudah lepas entah kemana.

Cklek. Sebuah tangan membantuku untuk membuka pintu. Minho dengan tangis di wajahnya mempersilahkanku masuk.

Mataku terpaku ke depan, melihat sosok pria yang terbaring tidak bergerak di depanku. Tidak ada air mata yang mengucur, bahkan aku tidak berkaca-kaca. Aku tidak tau apa yang sedang terjadi pada diriku. Aku tidak bisa menangis. Aku tidak bisa berteriak. Aku tidak jatuh. Aku bahkan terus berjalan ke arah Jonghyun yang tertidur.

“Saranghae”

“Aku beruntung memilikimu.”

“Bogoshipo, akhirnya kau datang”

Aku mengingat suara dan wajah hangatnya ketika menyambutku pulang dari Tokyo atau ketika ia pulang dari tempat kerja nya. Biasanya kata-kata itu yang akan kudengar. Tapi kali ini tidak ada suara khasnya yang kurindukan. Ia hanya diam saja. Tertidur. Tidak ada suara. Tidak ada jawaban.

Perlahan tanganku membelai wajahnya.

“Kau semakin tirus, kau pasti tidak makan dan tidur dengan baik?” ucapku padanya. Lagi, tidak ada jawaban. Kulitnya yang putih semakin terlihat pucat dengan cahaya lampu yang mengarah ke tempat tidurnya.

“Maaf nyonya kami harus melepas ala…”
Suara perawat itu terhenti karena seseorang yang entah siapa meminta waktu sebentar.

Aku memegang tangannya yang masih sedikit hangat, menggenggamnya erat seperti yang biasa kami lakukan. Namun bedanya kali ini hanya aku yang menggenggamnya.

Now there will not be warmness that hold my hands..

Aku menyusuri wajahnya, menyentuh matanya yang terpejam. Ia terlihat tenang.

Now there will not be those sharp eyes looking deeply into my eyes..

Hidung tingginya, bibir lembutnya.

And now there will not be those lips who melts me into softness..

Membayangkan hal yang tidak dapat lagi kami lakukan membuatku getir. Tembok kuat yang kubangun runtuh seketika.

Satu, dua, tiga..

I feel my tears starting to drop dan sekarang tidak dapat kubendung. Tanpa kendali. Dadaku sesak, napasku berat dan pendek. Kembali, seperti sebuah film dengan potongan-potongan gambar yang diputar, mengingatnya, mengingat semua hal yang kami lakukan bersama kini hanya tinggal sebuah kenangan?

Why you leave me? Do you think I will die and leave you? No.. I live because of you! Now you have to live because of me too.. Please..!

“Dia tau kamu akan hidup, dia ingin mendonorkan ginjalnya untukmu karena dokter bilang setelah pengangkatan satu ginjalmu karena kecelakaan, ginjalmu yang lain tidak dalam kondisi baik.”

Sesuatu seperti ditancapkan di dadaku mendengar perkataan seseorang itu. Aku menundukkan kepalaku di dada Jonghyun yang biasanya bisa kudengar jelas detak jantungnya. It hurts. It hurts so much.

Seandainya dulu saat ia merendahkan dirinya aku berkata jika “you are not just doing well, you have been great artist, great musicians.”
Seandainya dulu saat ia merasakan orang-orang mulai meninggalkannya aku meyakinkan jika “You have been help alot of people with your music, you will always be loved, So you have right to be happy too..”

“Lalu.. ini… surat terakhir yang ia titipkan untukmu.”

Seseorang mengulurkan tangann

ya kepadaku memberikan sebuah lipatan kertas yang kusam. Aku menguatkan diri dan membuka lipatannya perlahan. Beberapa kali aku mengucek mataku karena pandanganku yang kabur ditutupi oleh air. Satu persatu kalimat yang ia tulis kubaca, membuat dadaku semakin sesak.

Bagaimana bisa kau menyuruhku seperti ini? Kau pikir aku sekuat itu hah?

Air mataku semakin deras. Kuremas kertas itu masih dalam kondisi menangis sesengukan. Aku memandangnya kali ini dengan tatapan kosong. Kumajukkan wajahku hingga hanya tersisa jarak beberapa senti diantara kami. Aku mengecup bibirnya yang membiru. Perlahan, dan diam selama beberapa waktu.

No, Kim Jonghyun, No. It is not that you do not deserve me. But I do not deserve you. We do not deserve you.

Beberapa orang mulai masuk dan memenuhi ruangan termasuk sieomoni dan eonni, membuatku melangkah mundur namun masih bisa melihatnya dengan jelas. Mereka memeluknya, menciumnya, membelainya seperti yang kulakukan.

Now another Winter wont be the same again.

. . .

16.30, Jonghyun poV-

I’m sorry, it’s my fault
Thank you, it’s all thanks to you
These were words you said out of habit
Even though I knew you were struggling too
You probably think I’m a fool
***

Aku memandang ke arah langit sore itu yang terlihat lebih gelap dari biasanya. Jika aku pergi kesana, apakah semua kecemasan, ketakutan, ketidakpuasan, kesepian, kesedihan, dan rasa sakit yang kurasakan akan hilang? Aku tidak akan pernah tertinggal kan disana? Setidaknya aku tidak akan merasakan hal yang sesak yang kurasakan sekarang kan?

Tidak, bukan hanya rasa sesakmu yang sekarang.. Rasa sesakmu selama bertahun-tahun, sekarang dan selanjutnya tidak akan pernah kau rasakan. Kau tidak akan merasa sakit lagi. Tidak ada orang yang akan membuatmu sakit lagi.

Benar. Kau benar.

Tapi bagaimana dengan orang-orang yang mencintaimu? Kau akan meninggalkan mereka begitu saja?

Tidak masalah. Paling mereka sedih setahun, dua tahun, setelah itu kau akan dilupakan.

Benar, pada akhirnya aku juga akan dilupakan. Sejauh dan sekeras apapun usahaku. Semuanya pasti akan terlupakan dan tergantikan dengan yang baru.

If I say that things are hard with a crying face
Will it really get better?
If I cry and say it hurts, who will have a harder time?
Everyone will be fine
***

Aku melangkahkan kakiku masuk setelah hembusan angin balkon membuatku tidak kuat merasakan dinginnya. Mataku tertuju pada bungkusan berisikan briket batubara yang tidak seharusnya dimiliki oleh orang sehat dan normal.

Tapi kau tidak sehat kan? Kau sakit, ya aku sakit. Dan ini adalah obat yang tepat untuk orang sakit sepertiku.

Sebelum aku meraih benda itu, aku mengeluarkan ponselku dan menulis sebuah pesan. Satu pesan teks dan satu pesan yang kutulis dengan tanganku sendiri.

I was broken from the inside.

The sadness that slowly eating me, finally devoured me.

I couldn’t overcome it.

I hated myself. There was no answer no matter how much I cried or screamed.

Id rather stop breathing instead of breathe stuffy breath when I wake up.

I asked myself who could be responsible to me.

You were the one.

I was completely alone.

It was easy to say to end it.

Ive been living with that problem.

I wanted to run away.

Right. I wanted to run away.

From myself. From you.

I asked who was there. It was me, Again. It was me.

Why do I keep losing my memories? Its because of my character, I see how it is.

In the end it’s all my fault.

I wanted to know but nobody knew.

I asked why Im living. Just because. Just because everyone just lives.

I’ll be dead when I asked you to die.

I was suffering and worried. I didn’t learn how to turn boredom and pain to joys.

Pains are pains. Don’t do that, I pressed.

Why? Why cant I do what I want until the end?

I tried to find out why Iam in pain.

I know very well why. I was in pain because of myself. Everything was my fault. I was worthless.

Teachers, are you listening to these words? No, I did nothing wrong.

I thought it was easy for the doctor to blame my character or my voice.

Its amazing to see why it hurts so much.

People who had it worse live well. People who were weaker than me live well.

I guess it s not that.

There is no one who had it harder than me, no one weaker than me. But I still lived.

I didn’t ask why its like this hundreds times for myself. It was for you.

I wanted it to be for me.

Please don’t say anything you don’t know.

Why was I looking for hardships. How many time did you tell me.Why I having hard times. Will it be as hard as this?

Does the drama need to be more specific? Does there need to be more stories?

I already told you the stpry. You weren’t pretending to listem were you? It’s not a scar leftover that I could overcome.

I guess it was oppotion with the world.

I guess it wasn’t my lide that became known with the world.

So everything was hard. Opposition,becoming known, was difficult.

Why did I choose it? It was funny.

Up until now I have endured well.

What other words are there. Just say “you’ve done well”

Just that much is good. Tell me I’ve done well.

You’ve worked hard.

You’ve gone through a lot. Goodbye.

It should be okay, right? It should be.
Satu sisi meyakinkan diriku. Meski satu sisi lainnya melarangku. Aku ragu. Tapi aku sudah tidak dapat menahan rasa sakitnya. Satu, dua tahun terakhir adalah yang terberat bagiku. Aku tidak berguna. Aku sendirian. Aku tidak berguna. Aku sendirian.

Baby I’m so lonely so lonely
I feel like I’m alone
I don’t want to make it obvious to you
I’m used to just holding it in
Understand me

We’re together but we’re not walking together
Loneliness and misery, the difference is only one memory
***

Aku menarik napas dalam untuk menghirup udara di sekitarku.

Sontak dahaga menusuk masuk ke tenggorokanku, memberikan sensasi panas yang menyengat. Dadaku, perutku, kepalaku, rasa sakit yang semula kecil berubah luar biasa dalam hitungan menit. Dan saat itu juga semua ingatan berputar seperti sebuah film, dari saat aku mulai belajar berjalan, aku masuk sekolah, aku bertengkar dengan Noona, aku lulus ujian, aku belajar musik, aku menjadi trainee, aku bertemu Jinki hyung, Taemin, Minho, dan Kibum, konser-konser yang menyenangkan, shawols, dan saat aku bertemu dengan Kim Richan –ah sebentar lagi margamu akan kembali menjadi Ahn ya?

Aku tersenyum mengingatnya. Aku baru bisa mengingatnya. Aku yakin kau akan hidup. Aku berharap kau bahagia, meski tidak ada aku, tidak ada Hyunchan. Aku harap kau menemukan seseorang lagi– yang tidak payah sepertiku.

Tidak– sebenarnya aku berharap seseorang untuk datang, menolongku dari rasa sakit ini.

Someone please hold me, I’m exhausted from this world
Someone please wipe me, I’m drenched with tears
Someone please notice my struggles first
Please acknowledge the poor me
Please help me
****

Tapi tidak ada, semua ini salahmu, dan kau sendiri lah yang harus menanggungnya.

Ah ya, kau benar. Memang semua salahku.

Rasa sesak semakin menyeruak, tidak tertahankan, kepalaku berat, aku sudah tidak sanggup menyangga tubuhku. Entah apa saja yang sudah kumuntahkan hingga tubuhku kian lemas hingga merasakan kejang luar biasa.

Tenanglah rasa sakitnya hanya beberapa menit, your pain will be gone.

Ya, it will be gone. It wont be hard again.

-FIN-

 

 

* Breathe – Lee Hi

** End of the Day – Jonghyun

*** Lonely – Jonghyun ft. Taeyeon

**** Let me out – Jonghyun

 

This is my tribute for him.

Due to my lack of knowledge in Shinee and Jonghyun’s schedules, there are may be some unsynchronized dates or event. Please not that this is only a fan fiction.

As a someone who loves Shinee and Jonghyun, I deeply sorry and give condolences to his family, friends, fans, and esp. Shinee.

#STAYSTRONGSHAWOLS
#RESTINPEACEJONGHYUN

 

This writing may be the final ending of AGM, AGB series (yang tidak pernah bisa kuselesaikan). Thankyou for all your loves in the past!

Leave a comment